PENDIDIKAN ISLAM : ALTERNATIF DAN SOLUSI
Dawut Maulan
Guru MAN Kediri II Kota Kediri
Pendidikan tidak hanya
diperoleh di bangku sekolah. Di dalam keluarga seorang anak telah mendapat
pendidikan. Sentuhan kasih sayang ibu saat menyusui, memandikan, menidurkan
dll., sudah merupakan tingkat pendidikan tersendiri bagi anak..Lingkungan di
sekitar tempat tinggal juga memberikan nilai-nilai pendidikan buat si anak.
Bahkan, lingkungan memberikan porsi yang lebih besar dalam memberikan
pendidikan dibanding sekolah. Sebab, belajar di sekolah mungkin hanya 6-8 jam,
sementara belajar pada lingkungan nyaris 24 jam. Termasuk dalam pengertian
lingkungan di sini adalah program-program radio dan televisi serta berbagai
bentuk media yang lain.
Secara formal, orang
belajar di institusi yang disebut sekolah. Mulai dari TK sampai perguruan
tinggi. Institusi inilah yang terus disorot oleh banyak pihak, karena memang
institusi itulah yang mengurusi dan melahirkan berjuta bahkan bermiliar orang.
Jadi, tanggungjawab besar ada di tangan sekolah, tepatnya di pundak pihak-pihak
yang mengotaki strategi pendidikan.
Lalu apa ukuran sukses
tidaknya sekolah? Ibarat perusahaan, sekolah adalah tempat produksi, sehingga
untuk menilai sukses atau tidaknya dapat melihat pada tingkat kualitas
kepribadian yang dihasilkan. Apakah pribadi-pribadi itu menjadi lebih baik atau
justru menjadi liar? Ironisnya, catatan menunjukkan bahwa tingkat krisis
kepribadian dikalangan pelajar kian naik. setidaknya dapat kita lihat dari
masalah-masalah sosial yang ditimbulkan oleh mereka. Tawuran antar pelajar
misalnya, sampai saat ini masih terjadi, bahkan bentuk tawuran mereka semakin
cenderung membrutal. Pelaku tidak lagi main pukul, tapi juga menghilangkan
nyawa. Penggunaan obat-obat terlarang juga terus menunjukkan gejala yang
memprihatinkan. Selain itu masalah prilaku seksual pranikah, kesopanan dan
kualitas akademik juga belum menunjukkan gejala yang kurang sehat.
Masalah menuntut ilmu
termasuk masalah yang sangat besar dalam pandangan Islam. Mengenyam pendidikan
dalam kaca mata Islam bukanlah untuk sekedar prestasi semata, tapi adalah
kewajiban setiap muslim. Baik itu ilmu-ilmu teknis (sainstek) apalagi ilmu-ilmu
agama. Rasulullah Saw. bersabda: “Tuntutlah ilmu walau di negeri cina.” Sabda
ini menunjukkan agar umat Islam “haus”
akan ilmu. Bukan hanya ilmu agama, tapi juga ilmu-ilmu umum. Kenapa? Karena
jelas, di negeri cina tidak bakal dijumpai ilmu agama (tsaqofah).
Sebagai kompensasi wajibnya
menuntut ilmu, maka Islam mewajibkan kemudahannya. Yaitu negara harus mampu
menekan seminim mungkin biaya pendidikan bagi masyarakat, bahkan kalau bisa
Cuma-Cuma. Semua warga negara harus mendapatakan pendidikan dari negara
sebaik-baiknya. Negara tidak boleh menjadikan pendidikan sebagai barang
dagangan. Meski menyediakan pendidikan merupakan kewajiban negara, tetapi pihak
swasta juga diperbolehkan untuk menyediakan sarana pendidikan.
Islam memang satu tatanan
kehidupan yang khas. Dalam masalah pendidikan, Islam menetapkan bahwa tujuan
pendidikan adalah membentuk kepribadian muslim. Pelajar diharapkan memiliki
pola pikir (aqliyah) yang Islami dan sikap jiwa (nafsiyah) yang juga Islami.
Jadi sekolah bukan semata-mata transfer ilmu. Setiap pelajar akan dilatih
bersikap kritis. Bukan hanya pandai menguak fakta yang ada di depan mereka,
tapi juga menguak tabir di balik semua peristiwa.
Sebagai contoh, waktu kita
kecil dulu, saat guru menerangkan proses terjadinya hujan, guru hanya
menerangkan fenomena alamnya belaka. Karena panas, maka air akan berubah
menjadi uap air yang terbang ke udara. Uap air yang berkumpul akan menjadi
awan, lalu awan-awan ini selanjutnya akan menimbulkan hujan. Titik sampai di
situ. Lalu di mana peran Allah Swt. dalam “melahirkan” hujan? Wah, itu tugas
guru agama yang menerangkan, sayakan guru IPA, begitu kira-kira jawaban
kebanyakan guru. Repotkan! Maka wajar kalau pendidikan sekarang jauh dari
nilai-nilai agama. Atau waktu mengajarkan nilai-nilai moral, yang menjadi acuan
kenapa harus berbuat baik? Jawabannya tidak akan lebih dari “memang seharusnya
begitu” atau karena untuk “nilai-nilai kemanusiaan”. Padahal dalam Islam,
berakhlak baik adalah bagian dari hukum syara’, kalau tidak berbuat ya dosa.
Kerancuan berikut yang ada
pada sistem pendidikan sekarang adalah mencampuradukkan sains murni dengan
ajaran yang mengandung muatan ideologis. Teori Darwin misalnya, atau teori
abiogenesis dan biogenesis sudah bukan lagi terkategori ilmu murni, tetapi
filsafat murni yang bertentangan dengan Islam.
Karena tujuan pendidikan
Islam, adalah melahirkan kepribadian Islam, maka kurikulum yang dibuatpun
mengacu ke sana. Pelajaran-pelajaran mengenai tauhid dan hukum syara’ merupakan
porsi utama, bahkan sejak tingkat dasar. Sementara pelajaran-pelajaran yang
bermuatan ideologi asing hanya akan diajarkan pada tingkat perguruan tinggi.
Itupun dipelajari untuk “ditelanjangi” kebobrokannya. Bukan dijadikan acuan
hidup.
Lalu bagaimana nasib guru
dalam pendidikan Islam? Mereka dijamin hidup lebih sejahtera. Mereka juga
mendapatkan pelayanan ekstra dari negara. Dalam hal ini terdapat contoh yang
sangat baik dari Khalifah Umar bin Khattab di mana beliau telah menggaji guru
anak-anak sebesar 15 dinar perbulan. Satu dinar senilai dengan 4,25 gram emas.
Kisah lain dari Khalifah Ar Rasyid misalkan, menilai karya tulis para
cendikiawan Islam dengan unik. Beliau menimbang buku-buku lalu membayarnya
dengan emas seberat buku-buku itu. Bisa dibayangkan kalau buku-buku dibuat
berjuz-juz, semakin makmurnya para cendikiawan itu.
Selain guru orang tua juga
memegang peranan penting dalam pendidikan. Bahkan itu menjadi bagian dari
kewajiban orang tua terhadap anaknya. Masalah pendidikan bukan hanya tanggung
jawab sekolah dan orang tua, tapi juga lingkungan alias negara. Lingkungan juga
harus mendidik pelajar agar tidak liar. Biar diajarkan akhlak setinggi apapun,
sementara diluar sana degradasi akhlak menggila. Ya sia-sia saja donk.
Nah, begitulah kira-kira
Islam menjawab masalah pendidikan. Kapan kita akan beralih menuju perbaikan
sistem pendidikan Islam?
No comments :
Post a Comment